Penulis : AGUS RAHARJOB5A002002
Sumber : http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/Disertasi_Agus_Raharjo_-_Bhs_Indonesia.pdf
Kesimpulan : Perkembangan teknologi pada umumnya dan teknologi informasi padakhususnya membawa dampak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup disekitar manusia. Perkembangan teknologi informasi bersimbiosis denganglobalisasi menimbulkan berbagai persoalan hukum. Persoalan hukum yangditimbukan oleh perkembangan teknologi informasi tak lepas dari janji-janjiteknologi yang tidak selamanya terwujud. Persoalan hukum yang ditimbulkanoleh teknologi informasi merupakan persoalan kemanusiaan karena menyangkutkodrat manusia yang dapat dinilai sesuai dengan kemanusiaan atau tidak.Perikemanusiaan adalah nilai khusus yang bersumber pada nilai kemanusiaan.Jika sesuatu perbuatan dinilai sebagai tindakan yang berperikemanusiaan, iniberarti tindakan tersebut sesuai dengan hakekat manusia, yaitu kemanusiaan.Menempatkan persoalan kemanusiaan sebagai titik tolak dari dampakteknologi informasi sesungguhnya merupakan upaya untuk menempatkan manusiadalam posisi sentral sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila pada Sila Kedua.Kajian hukum yang menempatkan manusia pada posisi yang utama adalah hukumprogresif. Penempatan manusia dalam posisi yang utama seharusnya diikuti olehpara pemikir, pencipta dan pengembang teknologi informasi agar teknologi yangdiciptakan dapat membawa kebahagiaan bagi manusia.Dalam menghadapi persoalan yang timbul karena teknologi informasi,hukum memiliki keterbatasan kemampuan dalam memecahkan persoalanpersoalanyang timbul di masyarakat. Keterbatasan kemampuan hukum initercakup dalam dua aras, yaitu aras teoretik dan aras praktik. Pada aras teoretik,berbagai teori hukum yang ada tak mampu untuk memberi penjelasan mengenaiaspek hukum yang ditimbulkan oleh teknologi informasi, sedangkan pada araspraktik, keterbatasan kemampuan hukum dapat dilihat dari efektivitas peraturanyang dibuat oleh penguasa ketika dioperasikan dalam masyarakat. Pada aras iniketerbatasan tidak hanya terlihat pada peraturan tertulis yang telah dibuat, akantetapi juga terlihat dari sarana dan prasarana yang mendukung bekerjanya hukumserta aparat penegak hukum yang kurang berani melakukan terobosan ataukonstruksi yuridis terhadap cybercrime.Ini terlihat dari banyaknya kasus cybercrime yang muncul, akan tetapi sedikit sekali yang dapat diselesaikan oleh aparat penegak hukum.Upaya untuk mengatasi keterbatasan kemampuan hukum itu, makadimunculkan suatu pandangan baru yaitu suatu model pengaturan yang lebih baik,yaitu The Hybrid of Cyberspace Law. Model pengaturan ini merupakan sintesisdari model pengaturan yang selama ini ada, yaitu traditional regulation model danself-regulation dengan menjadikan Pancasila sebagai acuan utamanya.Traditional regulation model merupakan regulasi yang didasarkan padamekanisme yang ada pada the existing law, sedangkan self-regulation merupakanbentuk pengaturan yang berkembang di cyberspace baik dalam bentuk lexinformatica, emergent law, polycentric law maupun modality of cyberspace.Sebagai sintesis dari kedua model pengaturan itu, The Hybrid of Cyberspace Lawmenampung pula nilai moral dan etika baik yang ada di real space maupuncyberspace (Netiquette), sehingga hukum yang nantinya terbentuk merupakan apeculiar form of social life karena hukum bekerja dan tertanam dalam sebuahmatriks sosio-kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar