Rabu, 16 November 2011

Cerpen


Cinta bukanlah Barang

Guntur di luar, suaranya mengiriskan hati. Angin dan air seperti beradu. Dingin. Bibirku sudah membiru, gigiku beradu, menahan dingin yang menggigit. Padahal sudah kukenakan sweater pemberian Raffi, ketika dia menjalankan tugas ke Kalimantan. Raffi? Saat dia mengingat nama itu, tiba-tiba air bening menyeruak begitu saja dari matanya. Bobol lagi pertahananku. Dasar cengeng! Kenapa aku harus menangis lagi? 

Peduli amat, orang bilang cintaku cinta monyet. Namanya juga baru kali ini aku mengenal cowok secara serius. Maklum. Keluargaku sedikit kolot. Anak cewek tidak boleh keluyuran. Pulang sekolah, wajib langsung diam di rumah. Kalau tidak ikut pengajian, aku musti membantu Nina, adikku, belajar. Kadang aku juga menemani ibu belanja keperluan toko kami. Padahal aku merasa sudah dewasa, umurku sudah Tujuh belas tahun... tapi tetap saja kedua orangtuaku menganggap aku belum tahu apa-apa.
Siang itu aku mau menjemput adikku. Kebetulan aku pulang cepat, sehingga bisa menjemput Nina. Ketika aku menyeberangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan berwarna hitam langsung menuju ke arahku. Karena begitu cepatnya, aku tak mampu berlari atau berteriak lagi. Aku malah terpaku, seperti menunggu maut itu menjemputku....
Darrr! Suara keras itu memekakkan telinga. Aku merasa tubuhku melayang, entah berapa lama sampai sebuah tangan dingin menepuk-nepuk pipiku. 

“Bangun, Mbak.... Mbak nggak apa-apa?”
Aku menggeliat. Ringan banget rasanya. Kupikir aku sudah mati. Ternyata aku sudah ada di sebuah rumah makan. Aku baru ingat, rumah makan itu kan letaknya berseberangan dengan sekolah adikku. Lantas....
“Mbak tadi nyaris jadi korban tabrak lari. Orang gila tuh! Untung ada temannya mbak duluan nyamber. Kalau tidak, aduhh...” cerocos seorang ibu setengah baya yang keluar sambil membawakan dua cangkir teh hangat. Mmm... pasti si empunya rumah makan.

“Temanku???” Aku berusaha menajamkan lagi penglihatanku. Sesosok cowok jangkung dengan baju seragam yang sama denganku, kelihatan menunduk tersipu. 

“Sorry, aku tadi ngaku-ngaku temen kamu. Nggak apa-apa kan, kita juga satu sekolah... daripada ribet neranginnya ke ibu itu,” bisik cowok itu. 

Aku terhenyak. Aku yang malu, anak satu sekolah tidak kukenali. Kuper banget.
“Yuk kuantar pulang. Aku bawa kendaraan....”

Aku menggeleng. Tiba-tiba bayangan adikku terlintas....
“Aku ada janji. Thanks, ya....”
“Yakin, nggak apa-apa?”
Aku menggangguk, “Serius.”
“Oke deh... bye. Aku duluan.” Cowok itu beranjak dari duduknya, sebelum aku sadar, dia sudah pergi. Dasar! Bodoh benar aku. Kenapa tidak kutanya siapa namanya? Kelas berapa? 

Ah, wajahnya saja mulai samar-samar. Aku tidak ingat bener, hanya sekilas kuingat tatapan matanya yang tajam dan genggaman tangannya yang begitu kuat dan hangat. Siapa sangka, aku kembali bertemu cowok itu saat briefing hari pertama workshop pers abu-abu di sekolahku. Raffi... menyebut namanya saja, pipiku bisa merona tiba-tiba. Entah kenapa, keingintahuanku untuk mengenal dirinya lebih dalam begitu menggoda, sampai-sampai aku jadi lebih cepat datang ke sekolah, hanya untuk melihatnya datang, dari teras kelasku. 

11 JANUARI
Raffi... Raffi. Andai ini mimpi, aku tak berani untuk bangun. Aku ingin tetap terlelap dalam mimpiku. Saat kau bilang, kau ingin selalu menjagaku dalam sedih dan senang, dalam tangis dan tawa. Duh, romantisnya. Dia nembak aku bukan dengan cincin, bunga, atau sekotak coklat. Tapi dia membuatku terhenyak, ketika dia memberiku kumpulan lagu-lagu kesukaanku dalam satu CD yang dia mix sendiri. Seperti lagu Gigi, ya.. dia nembak aku pas tanggal 11 Januari, dua tahun yang lalu.
Raffi... andai kamu tahu, kamu benar-benar sudah mengubah sebagian besar hidupku. Aku yang pemalu, penyendiri, kini seperti bunga yang mulai berani memperlihatkan kelopaknya. Aku mulai berani aktif di berbagai ekskul, seperti kamu. Aku mulai tahu, tidak semua laki-laki sejahat yang kudengar dari doktrin kedua orangtuaku. Ada juga cowok yang berhati hangat seperti kamu.
Saat aku jatuh, saat aku kecewa, kamu selalu ada. Ketika rumor membuat keluargaku nyaris berantakan, kamu justru datang menentramkanku. Aku tak tahu lagi, apa yang harus kukatakan buat menunjukkan aku juga serius sayang kamu. Impian kita rupanya tinggal selangkah lagi. Dua tahun sudah kita lalui, orangtua kita juga seperti keluarga besar.
Rencana pertunangan di depan mata. Bahkan sudah ada tanggal pernikahan! Kata orangtua kami, bertunangan dulu yang penting. Biar masih kuliah, ntar juga bisa diatur. 

Rona bahagia tidak mampu kusembunyikan. Pagi itu, kebaya brokat warna biru muda siap kukenakan. Aku masih sibuk dirias, saat kudengar suara ibuku seperti berteriak, setengah histeris. Aku masih tak mengerti, ketika ayahku duduk di depanku, berkata lamat-lamat.... Raffi sudah pergi. 
Seisi rumahku menjadi gaduh. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menangis. Aku juga tak merasakan apa-apa, ketika ayah menjelaskan Rado mengalami kecelakaan dan tewas seketika di tempat kejadian. Telingaku seperti mendengung, tak jelas. Badanku seperti mati rasa, kebal, tak berasa apa pun.
11 Januari saat Raffi nembak aku. Tanggal itu pula rencana pertunangan kami. Tanggal itu pula tanggal Raffi dimakamkan. Raffi meninggalkanku, tanpa pesan, tanpa tanda apa pun. Cowok yang sudah dua tahun ini mengisi hari-hariku. Namanya memenuhi diary-ku. Namanya selalu ada dalam doa sujudku.

Aku tak punya air mata lagi. Entah kenapa, hingga jasadnya menghilang tertutup tanah, aku tetap tak mampu menangis. Aku seperti limbung, berada di tempat asing. Sekelilingku tak kukenali lagi. 

Pulang ke rumah, ketika aku duduk di depan televisi, bayangan itu mengganggu lagi. Bayangan waktu Raffi menolongku pertama kali, lantas dia mengajariku mengurus mading, sampai nembak aku dengan sebuah CD. Badan dan hatiku seperti mati rasa. Tiba-tiba saja, aku mendengar Ibu dan Ayah berteriak histeris, sekilas kulihat bayangan mereka semakin jauh dan gelap.

                                                                    ***
Minggu pagi, saat kumulai hariku. Aku melenggang sendiri. Tujuanku ke makam Raffi, sekedar menengok dan mendoakannya. Ya, aku kangen. Tiba di makam, aku nyaris terhenyak. Mimpikah aku? Kenapa Raffi masih duduk di depan makam? Lantas...
Orangtua Raffi menenangkanku. Ternyata satu hal yang belum kutahu. Raffi punya saudara kembar yang diasuh neneknya. Roni, nama cowok yang mirip sekali dengan Raffi. Astaga....

Guntur masih menggelegar. Lamunanku terputus. Ah, aku terlalu lama melamun. Bayangan Raffi dan Roni tiba-tiba bermain dalam benakku. Aku ingat pembicaraan siang tadi di rumah, ketika bunda Raffi datang.
“Bunda tahu, kehilangan Raffi sangat menyakitkan dan tidak bisa tergantikan. Tapi coba Marsya membuka hati buat Roni. Dia juga saudara kembar Raffi, setidaknya....”

“Raffi bisa diganti Roni, itu maksud Bunda?” Entah kenapa, nadaku langsung tinggi menanggapi maksud ibu Raffi. Memangnya aku barang. Tidak dengan A, bisa dengan B, sekalipun mereka sedarah?
Aku terduduk lemas di ruang makan. Bayangan Raffi dan Roni lamat-lamat semakin jauh. Kumohon, Tuhan, haruskah kuterima cinta Ryan? . apakah disana Raffi merelakan aku menerima cinta saudara kembarnya?.